Z A K A T
Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Sebagai salah satu rukun Islam, Zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (asnaf).
Zakat berasal dari bentuk kata “zaka” yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat, karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebaikan (Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq: 5)
Makna tumbuh dalam arti zakat menunjukkan bahwa mengeluarkan zakat sebagai sebab adanya pertumbuhan dan perkembangan harta, pelaksanaan zakat itu mengakibatkan pahala menjadi banyak. Sedangkan makna suci menunjukkan bahwa zakat adalah mensucikan jiwa dari kejelekan, kebatilan dan pensuci dari dosa-dosa.
Dalam Al-Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. at-Taubah [9]: 103).
Menurut istilah dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Orang yang menunaikan zakat disebut Muzaki. Sedangkan orang yang menerima zakat disebut Mustahik.
Sementara menurut Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Zakat dikeluarkan dari harta yang dimiliki. Akan tetapi, tidak semua harta terkena kewajiban zakat. Syarat dikenakannya zakat atas harta di antaranya:
- harta tersebut merupakan barang halal dan diperoleh dengan cara yang halal;
- harta tersebut dimiliki penuh oleh pemiliknya;
- harta tersebut merupakan harta yang dapat berkembang;
- harta tersebut mencapai nishab sesuai jenis hartanya;
- harta tersebut melewati haul; dan
- pemilik harta tidak memiliki hutang jangka pendek yang harus dilunasi.
Asnaf (8 Golongan) Penerima Zakat
Sebagai instrumen yang masuk dalam salah satu Rukun Islam, zakat tentu saja memiliki aturan mengikat dari segi ilmu fiqihnya, salah satu diantaranya adalah kepada siapa zakat diberikan.
Dalam QS. At-Taubah ayat 60, Allah memberikan ketentuan ada delapan golongan orang yang menerima zakat yaitu sebagai berikut:
- Fakir, mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
- Miskin, mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan.
- Amil, mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
- Mualaf, mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah.
- Riqab, budak atau hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya.
- Gharimin, mereka yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya.
- Fisabilillah, mereka yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya.
- Ibnu Sabil, mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.
Jenis Zakat
Secara umum zakat terbagi menjadi dua jenis, yakni zakat fitrah dan zakat maal. Zakat Fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan.
Zakat mal adalah zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya, tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Sebagai contoh, zakat mal terdiri atas uang, emas, surat berharga, penghasilan profesi, dan lain-lain, sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 yang telah diubah dua kali dengan perubahan kedua adalah Peraturan Menteri Agama No. 31/2019, dan pendapat Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi serta para ulama lainnya.
Zakat maal sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas meliputi:
1. | Zakat emas, perak, dan logam mulia lainnya |
Adalah zakat yang dikenakan atas emas, perak, dan logam lainnya yang telah mencapai nisab dan haul. | |
2. | Zakat atas uang dan surat berharga lainnya |
Adalah zakat yang dikenakan atas uang, harta yang disetarakan dengan uang, dan surat berharga lainnya yang telah mencapai nisab dan haul. | |
3. | Zakat perniagaan |
Adalah zakat yang dikenakan atas usaha perniagaan yang telah mencapai nisab dan haul. | |
4. | Zakat pertanian, perkebunan, dan kehutanan |
Adalah zakat yang dikenakan atas hasil pertanian, perkebunan dan hasil hutan pada saat panen. | |
5. | Zakat peternakan dan perikanan |
Adalah zakat yang dikenakan atas binatang ternak dan hasil perikanan yang telah mencapai nisab dan haul. | |
6. | Zakat pertambangan |
Adalah zakat yang dikenakan atas hasil usaha pertambangan yang telah mencapai nisab dan haul. | |
7. | Zakat perindustrian |
Adalah zakat atas usaha yang bergerak dalam bidang produksi barang dan jasa. | |
8. | Zakat pendapatan dan jasa |
Adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang diperoleh dari hasil profesi pada saat menerima pembayaran, zakat ini dikenal juga sebagai zakat profesi atau zakat penghasilan. | |
9. | Zakat rikaz |
Adalah zakat yang dikenakan atas harta temuan, dimana kadar zakatnya adalah 20%. |
Syarat Zakat Maal dan Zakat Fitrah:
1. | Harta yang dikenai zakat harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan syariat Islam. | ||
2. | Syarat harta yang dikenakan zakat mal sebagai berikut: | ||
a. milik penuh | |||
b. halal | |||
c. cukup nisab | |||
d. haul | |||
3. | Hanya saja, syarat haul tidak berlaku untuk zakat pertanian, perkebunan dan kehutanan, perikanan, pendapatan dan jasa, serta zakat rikaz. | ||
Sedangkan untuk syarat zakat fitrah sebagai berikut:
- beragama Islam
- hidup pada saat bulan ramadhan;
- memiliki kelebihan kebutuhan pokok untuk malam dan hari raya idul fitri;
(Sumber: Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 267, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2019, Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003, dan pendapat Shaikh Yusuf Qardawi).
Zakat Fitrah
Zakat fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan pada Idul Fitri. Sebagaimana hadist Ibnu Umar ra,
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau saw memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (HR Bukhari Muslim)
Selain untuk mensucikan diri setelah menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, zakat fitrah juga dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian terhadap orang yang kurang mampu,membagi rasa kebahagiaan dan kemenangan di hari raya yang dapat dirasakan semuanya termasuk masyarakat miskin yang serba kekurangan.
Zakat fitrah wajib ditunaikan bagi setiap jiwa, dengan syarat beragama Islam, hidup pada saat bulan Ramadhan, dan memiliki kelebihan rezeki atau kebutuhan pokok untuk malam dan Hari Raya Idul Fitri. Besarannya adalah beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa.
Para ulama, diantaranya Shaikh Yusuf Qardawi telah membolehkan zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk uang yang setara dengan 1 sha’ gandum, kurma atau beras. Nominal zakat fitrah yang ditunaikan dalam bentuk uang, menyesuaikan dengan harga beras yang dikonsumsi.
Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 10 Tahun 2024 tentang Nilai Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, ditetapkan bahwa nilai zakat fitrah setara dengan uang sebesar Rp45.000,-/hari/jiwa
BAZNAS akan menyalurkan zakat fitrah dalam bentuk beras kepada mustahik yang membutuhkan.
Zakat Fitrah ditunaikan sejak awal Ramadhan dan paling lambat dilakukan sebelum pelaksanaan Shalat Idul Fitri. Sementara itu, penyalurannya kepada mustahik (penerima zakat) paling lambat dilakukan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.
(Sumber: Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014, SK Ketua BAZNAS No. 10 Tahun 2024, Hadist Riwayat Bukhari Muslim, dan pendapat Shaikh Yusuf Qardawi).
Zakat Maal
Maal berasal dari kata bahasa Arab artinya harta atau kekayaan (al-amwal, jamak dari kata maal) adalah “segala hal yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimiliki” (Lisan ul-Arab). Menurut Islam sendiri, harta merupakan sesuatu yang boleh atau dapat dimiliki dan digunakan (dimanfaatkan) sesuai kebutuhannya.
Oleh karena itu dalam pengertiannya, zakat maal berarti zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
Sebagai contoh, zakat maal terdiri atas simpanan kekayaan seperti uang, emas, surat berharga, penghasilan profesi, aset perdagangan, hasil barang tambang atau hasil laut, hasil sewa aset dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Fiqh uz-Zakah, zakat maal meliputi:
- Zakat simpanan emas, perak, dan barang berharga lainnya;
- Zakat atas aset perdagangan;
- Zakat atas hewan ternak;
- Zakat atas hasil pertanian;
- Zakat atas hasil olahan tanaman dan hewan;
- Zakat atas hasil tambang dan tangkapan laut;
- Zakat atas hasil penyewaan asset;
- Zakat atas hasil jasa profesi;
- Zakat atas hasil saham dan obligasi.
Begitupun dengan yang dijelaskan di dalam UU No. 23 Tahun 2011, zakat maal meliputi;
- Emas, perak, dan logam mulia lainnya;
- Uang dan surat berharga lainnya;
- Perniagaan
- Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
- Peternakan dan perikanan
- Pertambangan
- Perindustrian
- Pendapatan dan jasa; dan
- Rikaz
Adapun syarat harta yang terkena kewajiban zakat maal yaitu sebagai berikut:
- Kepemilikan penuh
- Harta halal dan diperoleh secara halal
- Harta yang dapat berkembang atau diproduktifkan (dimanfaatkan)
- Mencukupi nishab
- Bebas dari hutang
- Mencapai haul
- Atau dapat ditunaikan saat panen
Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi; zakat pendapatan adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan / penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5%.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Nishab dan Kadar Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan dikeluarkan dari harta yang dimiliki pada saat pendapatan/ penghasilan diterima oleh seseorang yang sudah dikatakan wajib zakat. Lalu siapa orang yang wajib menunaikan zakat penghasilan?
Seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila ia penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun. Hal ini juga dikuatkan dalam SK Ketua BAZNAS Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Nilai Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa Tahun 2024, bahwa;
Nishab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2024 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp82.312.725,- (delapan puluh dua juta tiga ratus dua belas ribu tujuh ratus dua puluh lima rupiah) per tahun atau Rp6.859.394,- (enam juta delapan ratus lima puluh sembilan ribu tiga ratus sembilan puluh empat rupiah) per bulan.
Dalam praktiknya, zakat penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nilai nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%. Jadi apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nishab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilannya tersebut
Ada banyak jenis profesi dengan pembayaran rutin maupun tidak, dengan penghasilan sama dan tidak dalam setiap bulannya. Jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nishab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun dikumpulkan atau dihitung, kemudian zakat ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.
Nishab Zakat Penghasilan |
85 gram emas |
Kadar Zakat Penghasilan |
2,5% |
Haul |
1 tahun |
Cara menghitung Zakat Penghasilan:
2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan
Contoh:
Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp938.099/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp79.292.978,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.
Kami menerima Penyaluran uang zakat
melalui BSI Tangerang
Rek No. 7 1 9 4 2 4 1 4 6 6
An. Yayasan Nur Asadiniah
T E R I M A K A S I H
Kotak person :
Bp. Achmad : 0814 0081 2056
Zakat untuk Santri (Penuntut Ilmu Agama)
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Follow on XSend an emailAugust 8, 2012
Bolehkah zakat disalurkan untuk para santri atau penuntut ilmu agama? Sebagaimana telah dijelaskan bahwa zakat tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid, pembangunan pesantren atau untuk fasilitas sosial, lihat tulisan di sini. Yang kita bahas kali ini adalah jika zakat tersebut disalurkan untuk para santri pesantren atau penuntut ilmu agama.
Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bolehnya zakat disalurkan untuk penuntut ilmu. Demikian ditegaskan oleh ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, juga dipahami dari madzhab Malikiyah. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya penuntut ilmu (agama) mengambil zakat walau ia mampu (kaya) yaitu jika ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengambil manfaat dari belajar sehingga ia tidak mampu mengais rizki dengan bekerja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Seandainya seseorang mampu dan layak bekerja namun ia tersibukkan dengan belajar ilmu syar’i dan jika ia mengambil jalan untuk bekerja, maka terputuslah ia meraih ilmu, kondisi ini membuatnya berhak mendapat zakat. Karena menuntut ilmu (agama) dihukumi fardhu kifayah (yaitu sebagian orang di antara kaum muslimin harus melakukannya, pen).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya mengenai seorang penuntut ilmu yang tidak mampu membeli berbagai kita yang ia butuhkan. Beliau menjawab, “Boleh baginya mengambil dari zakat sesuai yang ia butuhkan untuk memperoleh kitab ilmu di mana kitab tersebut bermanfaat untuk agama dan dunianya.”
Al Buhuti rahimahullah berkata, “Penuntut ilmu tidaklah di luar dari 8 ashnaf (golongan) yang berhak menerima zakat. Kebutuhan penuntut ilmu akan buku ibarat seperti nafkah hidup untuknya. Dan para ulama fikih mengkhususkan bolehnya penyaluran zakat untuk penuntut ilmu agama saja.”
Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa boleh memindahkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain dengan alasan disalurkan untuk penuntut ilmu. (Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 336-337)
Ada 8 ashnaf (golongan) penerima zakat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, yang dimaksud “fii sabilillah” adalah jihad untuk meninggikan kalimat Allah itu mulia. Para mujahid diberikan zakat untuk maksud ini sebagai nafkah dan untuk pembelian persenjataan bagi mereka. Para ulama mengatakan bahwa termasuk “fii sabilillah” adalah seseorang yang menghabiskan waktunya untuk belajar agama, ia bisa mendapatkan zakat untuk memenuhi kebutuhannya berupa nafkah, pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal, dan kitab ilmu. Karena sekali lagi, menuntut ilmu syar’i adalah bagian dari jihad di jalan Allah (fii sabilillah). Imam Ahmad berkata,
العلم لا يعدله شيء لمن صحّت نيّته
“Tidak ada sesuatu yang dapat menandingi ilmu jika benar niatnya.”
Ilmu adalah pokok setiap syari’at. Tidak ada syari’at kecuali dengan ilmu. Allah menurunkan kitab dengan tujuan untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Dengan ini maka bisa dipelajari berbagai hukum syar’i, juga bisa diketahui akidah, perkataan dan perbuatan.
Adapun jihad di jalan Allah tentu termasuk sebaik-baik amalan, bahkan jihad adalah puncak ajaran Islam. Tidak ragu lagi, jihad adalah amalan sangat utama. Akan tetapi, ilmu syar’i juga punya andil besar dalam Islam dan mempelajarinya termasuk jihad fii sabilillah tanpa ragu lagi. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 337/338)
Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Bolehkah menyalurkan zakat untuk penuntut ilmu yang sangat membutuhkan?”
Jawab mereka: Boleh menyalurkan zakat untuk mereka untuk memenuhi hajat mereka.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 10: 17)
Semoga Allah memberi kita selalu ilmu bermanfaat dan memberi taufik untuk beramal sholih.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunung Kidul, 19 Ramadhan 1433 H
Bagaimana Hukum Berzakat kepada Santri
Sumber: NU Online
Sen, 13 Maret 2017 | 13:01 WIB
Indonesia adalah negara sejuta pesantren. Sebutan ini tidak berlebihan karena faktanya hampir di setiap daerah, mulai dari perkotaan sampai pedesaan, terdapat banyak pesantren. Malahan dalam satu daerah terkadang tidak hanya ditemukan satu atau dua pesantren, tetapi puluhan pesantren. Para santri yang belajar di pesantren pun tidak hanya berasal dari daerah terdekat, tetapi ada juga yang datang dari daerah yang jauh dari lokasi pesantren. Latar belakang ekonomi santri beragam: ada dari keluarga ekonomi paling bawah dan tidak sedikit pula dari kelas menengah ke atas. Akan tetapi, siapa pun itu, dari keluarga mana mereka berasal, mereka tetap bisa sekolah di pesantren, sebab sebagian besar pesantren saat ini biaya sekolah dan buku-bukunya relatif murah dibanding sekolah umum. Terlebih lagi, sebagian besar pesantren tidak memungut biaya dari santrinya. Masih banyak ditemukan kiai dan ustadz yang mengajar di pesantren atas dasar keikhlasan, alih-alih mencari uang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila pesantren sampai saat ini masih bisa eksis di bumi Nusantara ini, berkat keikhlasan dari pengajarnya. Kendati di beberapa pesantren tidak dipungut biaya sekolah dan kalaupun berbayar biayanya masih relatif murah, tapi kehidupan sehari-hari santri tetap harus dipikirkan dan dibantu. Apalagi, sebagian santri sebenarnya sudah dewasa dan tidak lagi ditanggung biaya mereka oleh kedua orang tuanya. Mereka juga tidak bekerja lantaran memilih hidup untuk belajar agama. Kalau mereka bekerja dikhawatirkan akan tidak fokus belajar di pesantren. Menurut sebagian ulama, dibolehkan membantu santri ataupun pelajar agama dengan cara berzakat kepadanya, supaya mereka tetap fokus belajar dan ilmunya dapat bermanfaat bagi orang banyaknya. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab mengatakan:
“ Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat bekerja karena sibuk belajar agama; sebab kalau bekerja, dia tidak bisa fokus belajar dan tidak mendapatkan ilmu, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi, orang yang tidak sungguh-sungguh belajar tidak berhak menerima zakat bila dia mampu untuk bekerja, meskipun dia tinggal di madrasah. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur.”
Dibolehkan memberi zakat kepada pelajar agama, baik santri ataupun mahasiswa, selama mereka rajin belajar dan diharapkan ilmunya bermanfaat untuk orang banyak. Meskipun pelajar tersebut sudah dewasa dan mampu bekerja. Kebutuhan mereka dapat dibantu dengan uang zakat supaya mereka fokus belajar dan berhasil. Kebolehan membayar zakat ini berlaku dengan syarat mereka rajin dan memiliki potensi. Oleh sebab itu, tidak boleh berzakat kepada santri yang malas dan tidak serius dalam belajar. Berdasarkan pendapat di atas, orang yang akan memberi zakat perlu memilih siapa kira-kira yang berhak diberi zakat. Berikanlah harta tersebut terhadap orang yang memang tepat menerimanya, agar harta yang dikeluarkan pun dirasakan betul manfaatnya. Kalau memang ada di daerah kita pelajar agama, mereka berasal dari keluarga kurang mampu, maka bantulah perekomian mereka dengan cara berzakat kepadanya. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)